Ketika omongan ngalor ngidul sampai pada topik yang akhirnya benar benar membuat kita terhenyak penuh arti. Kita berdua sama sama memulai kehidupan yang sangat jauh dari hingar bingar kota, dalam usia yang masih sangat muda. Usia 12-13 tahun, Ya... umur 12-13 tahun. Lulus Sekolah Dasar dan jauh pula. Kota Solo menjadi saksi perjalanan kehidupan sebagai seorang"abege". Kota yang saat itu harus ditempuh selama 12 jam perjalannan dengan menggunakan kereta api dari Jakarta. Dan jangan sekali kali membayangkan kita berada di kota besar-nya. Kita terdampar ditempat yang berada ditengah tengah ladang tebu saat itu. Jauh dari mana mana.
Omongan ngalor ngidul tak berujung ini pun menggaris bawahi keluguan dan keberanian kita saat itu untuk berpisah dengan keluarga. Mengetawai diri sendiri mana kala kita di bully oleh senior senior, tak ada tivi, sampai harus digundul keliling. Saya yang notabene "anak kota" Jakarta pada akhirnya bisa sangat gampang memanjat pohon kelapa. Pohon kelapa yang biasa saya lihat di ancol, Pulang - pergi Jakarta - Solo sendirian udah "makanan' saya tiap liburan sekolah. Beli tiket di stasiun solo balapan, bolak balik ke gerbong restorasi kereta senja utama, kenalan sama "pramugari" kereta biar dapet tambahan se-iris kelapa kopyor-nya kereta api. Oh ya....saat itu minum kelapa kopyor warna merah di kereta api merupakan kenikmatan yang tiada tara.
Hampir mati ketika naik gunung pun sudah pernah. Gunung Slamet, menjadi saksi manakala air ludah pun terasa pahit untuk ditelan. Kelas sejak 2 SMP kita sudah berkelana mengelilingi gunung yang ada di Jawa. Gunung Lawu mungkin bosan ketemu sama kita, Merbabu, Merapi, Sindoro, Sumbing, Slamet kita sikat tak lebih dari 3 tahun masa SMP-SMA. Oh ya satu lagi.... biar gini gini kita sudah pemegang gelar BANTARA di ekskul Pramuka. Sementara yang lain paling seumur hidupnya paling mentok sampe Penggalang Rakit. :) . ( padahal bantara yo uooopoooo....)
Obrolan ngalor ngidul antara teman yang telah 20 tahun tak bersua pun hampir terhenti manakala timbul pertanyaan apakah kita akan melakukan hal yang sama dengan orang tua kita dahulu untuk memasukkan putra/putri kita untuk menyantri seumur kita dulu. Ketika kita melihat anak anak sekarang yang tidak bisa lepas dari gadget-nya, bahkan untuk pergi membeli ayam goreng Fastfood sendiri pun tidak bisa. Harus orangtuanya yang mengantri-kan.
Harus kah ?
Rabu 19.30wib
1 comments:
Pernah mengalami hal yang sama, ketemu dengan teman setelah puluhan tahun lamanya. Menyenangkan.
Posting Komentar